Jumat, 10 Februari 2017

PENDIDIKAN SANGAT BERPENGARUH TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS HIDUP SUKU ANAK DALAM

PENDIDIKAN SANGAT BERPENGARUH TERHADAP
PENINGKATAN KUALITAS HIDUP
SUKU ANAK DALAM
Hasil gambar untuk pendidikan

Pendidikan sangatlah penting untuk semua makhluk hidup di dunia ini salah satunya adalah kita sebagai manusia yang di beri akal dan pikiran untuk meningkatkan  kesejahteraan manusia itu sendiri. Pendidikan dapat menunjang kehidupan seseorang maupun kelompok orang. Dalam konteks universal pendidikan mencakup semua golongan dan salah satunya suku anak dalam, mereka sangatlah membutuhkan pendidikan yang layak untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya dalam menjalani kehidupan.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan secara literatur ditemukan beberapa persoalan mengenai minimnya pendidikan di tingkat suku anak dalam. Dari hasil analisis tersebut di harapkan agar pemerintah dapat menciptakan pendidikan yang mengarah kepada penerapan pendidikan di daerah pelosok suku anak dalam.
Kata Kunci : Pendidikan, Suku Anak Dalam, dan Kesejahteraan
PENDAHULUAN
Indonesia sangatlah kaya akan budaya, banyak sekali etnik-etnik budaya dalam bentuk kelompok-kelompok tertentu, mereka bertempat tinggal dipelosok-pelosok kota modern. Mereka hidup di antara rerimbunan pohon-pohon besar, Sehingga mereka sering disebut Orang Rimba.
Disamping memiliki budaya leluhur yang sangat banyak dan unik, Orang rimba juga memiliki beberapa keterbatasan salahsatunya pendidikan yang minim. Minimnya penerapan pendidikan di pelosok ini memungkinkan terjadinya kesenjangan pendidikan sehingga menimbulkan tertinggalnya Orang Rimba dalam dunia pendidikan.
Pendidikan merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia yang harus terpenuhi, selain menjadi bagian dari hak asasi manusia, pendidikan juga merupakan salah satu elemen penting dimana suatu kesuksesan dan kemajuan Negara di ukur oleh seperti apa pendidikan di Negara tersebut.
Oleh karena itu setiap warga negara Indonesia berhak untuk memperoleh kesempatan belajar sebaik-baiknya dengan ditunjang oleh sarana dan prasarana yang layak. Sehingga
dimanapun mereka berada harus dapat dijangkau oleh fasilitas pendidikan yang
layak sebagai hak-hak asasi bagi mereka.
Pendidikan adalah pengetahuan yang harus dimiliki oleh setiap orang karena, pendidikan adalah modal utama manusia dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Pendidikan dapat mensejahterakan manusia dalam segi kehidupan sekarang ataupun kedepannya.
Kualitas hidup suku anak dalam bergantung pada banyak hal dan salah satunya adalah pendidikan yang layak di dapatkan seperti apa yang manusia lain  pada umumnya dapatkan.
Namun di era modernisasi ini seolah-olah suku anak dalam terpinggirkan. Dalam konteks pendidikan tidak hanya pemerintah yang bergerak tetapi sesama manusia juga harus saling membantu menyangkut kesejahteraan bersama.
Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan tentang aturan-aturan oleh dewa yang menguasai alam turut mempengaruhi pola hidup Orang Rimba, khususnya dalam mengelola alam sekitar. Orang Rimba sangat menghargai dan terikat dengan lingkungan sekitar (hutan). Mereka makan dan minum dari apa yang disediakan di hutan.
Bagi Orang Rimba, hutan merupakan bagian dari hidup mereka yang harus di lindungi. Mereka mempunyai semboyan “huatan adalah kehidupan dan kehidupan adalah hutan”. Keduanya berjalan seiring dan mereka tidak pernah menginginkan untuk hidup diluar hutan karena hutan dirasakan sudah cukup memenuhi kebutuhan hidup mereka (Lucky Ayu Wulandari, 2009).
Disamping kehidupan mereka yang sangat bergantung pada alam mereka juga harus di berikan pendidikan yang layak. Untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera, selain itu juga dengan diterapkannya pendidikan mereka mampu menjaga keseimbangan ekosistem di alam mereka sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari yang sangat bergantung pada ekosistem alam yang ada agar tidak punah dan mereka dapat hidup selayaknya orang modern zaman sekarang. Dengan begitu mereka ridak merasa terpinggirkan. Peran pemerintah dan masyarakat dalam membantu menerapkan pendidikan di pelosok suku anak dalam sangatlah dibutuhkan.
TUJUAN
Tujuan pembuatan artikel ilmiah ini adalah untuk menerapkan, mengembangkan, dan menyampaikan tentang dunia pendidikan dikalangan pelosok-pelsokok suku pedalaman. Karena, pendidikan sangat penting untuk mereka di masa sekarang dan dimasa yang akan datang, pendidikan memiliki sifatnya nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu dengan berkembangnya dunia pendidikan di kalangan suku anak dalam, mereka dapat meminimalisir degredasi ekosistem di hutan dengan bekal pendidikan yang diberikan. Mengajak seluruh warga masyarakat untuk memiliki bekal pendidikan yang layak sehingga seluruh mayarakat dapat menjaga hidup dan hidup sejahtera terbebas dari kesenjangan pendidikan yang menimbulkan kesenjangan hidup.
METODE LITERATUR
Dalam analisis masalah artikel ilmiah ini, penulis menggunakan metode literatur. Penulis menggunakan berbagai macam sumber pustaka dan data sensus internet yang menjelaskan tentang minimnya pendidikan di pelosok-pelosok khususnya suku anak dalam. Untuk memperoleh data/informasi penulis mengolah data dari berbagai jenis sumber berita internet. Berbagai macam sumber referensi yang ada menjadikan penulisan artikel ilmiah ini berjalan dengan baik.
PEMBAHASAN
Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki ribuan suku bangsa yang beraneka ragam. Masing-masing daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebu dayaan daerah lain atau kebudayaan yang berasal dari luar. Salah satu kebudayaan tersebut adalah Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam terdapat di daerah Jambi dan Sumatera Selatan. Suku Anak Dalam belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia karena Suku Anak Dalam sudah sangat langka dan mereka tinggal di tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan orang-orang.
Suku Anak Dalam disebut juga Suku Kubu tau Orang Rimba. Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Malau sesat yang lari ke hutan rimba disekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian dinbmakan Moyang Segayo. Sistem kemasyarakatan mereka , hidup mereka secara nomaden atau tidak menetap dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun diantara mereka sudah banyak yang telah memiliki lahan karet ataupun pertanian lanilla.
Orang Rimba merupakan sebutan lain untuk Suku Anak Dalam yang tinggal di pedalaman rimba. Istilah “Orang Rimba” dianggap orang rimba sendiri lebih sesuai dengan kehidupan mereka yang tinggal di rimba dan “tidak mau” keluar dari hutan. Ketidakmauan mereka keluar dari hutan ini berkaitan erat dengan dunia mereka yang menganggap bahwa hutan adalah tempat hidup dan rumah mereka sejak dulu (Butet Manurung, 2007).
Saat ini mayoritas Orang Rimba menghuni tiga daerah terpisah disekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Provinsi Jambi, yaitu sekitar TNBD 30, TNBD 12 (Keduanya di wilayah utara Jambi) dan sepanjang jalan lintas Sumatra (Wilayah Selatan Jambi). Ketiga wilayah ini diyakini Orang Rimba sebagai tempat tinggal leluhur mereka dahulu. Diwilayah ini sekarang sedang digalakan program konversi hutan, salah satunya untuk melindungi keberadaan Orang Rimba (Lucky Ayu Wulandari, 2009).
Hidup nomaden dan semi nomaden (berpindah-pindah) di dalam hutan luas, tempat para dewa-dewa, jin, dan setan mereka juga ikut tinggal di kolong dedaunan yang sama. Mereka mencukupi kebutuhan hidup dari hasil alam. Alam adalah segala-galanya bagi mereka.
Merekalah gambaran kehidupan manusia di zaman meramu dan berburu ratusan bahkan ribuan tahun lalu, yang masih kasat terlihat oleh mata. Sistem barter pun masih tetap mewarnai kehidupan ekonomi Orang Rimba ini. Walau sesekali mereka berjualan hasil hutan di desa-desa pinggir hutan, dan mendapatkan sedikit uang. Namun Se-kuno apapun manusia peninggalan pra-sejarah ini. Kita harus menyadarinya, bahwa mereka tetap bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia (Butet Manurung, 2007).
Orang Rimba yang tak mengenal baca tulis  dan hitung-berhitung ini pun tak luput dari beratnya cobaan hidup. Mereka yang mencintai hutan, mengasihi, dan merawat peninggalan leluhur tersebut. Tidak pernah tahu, bahwa manusia yang hidup dalam dimensi waktu yang berbeda di pinggir hutan. Telah merusak alam dan hutan mereka.
Hutan ialah rumah dan sumber penghidupan orang rimba. Mereka sangat memahami bahwa bumi menyediakan makanan cukup untuk kebutuhan setiap orang, tetapi bukan untuk keserakahannya. Karena itu pula, mereka menyatu dengan  hutan dalam tatanan kearifan lokal.
Ironisnya, kawasan hutan yang menjadi permukiman orang rimba secara turun-temurun dibiarkan dibabat. Inilah negara yang pada satu sisi mendewakan secara berlebihan penanam modal, tetapi pada sisi lain membiarkan dengan penuh kesadaran  orang rimba terpinggirkan, bahkan tercerabut dari akar budayanya lewat pembabatan hutan yang sungguh ironis  dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.Harus jujur dikatakan bahwa perlindungan terhadap orang rimba di negeri ini cuma indah di atas kertas, tetapi miskin, sangat miskin, dalam implementasi. Sebagai contoh, lewat Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 1999, sebutan suku terasing diubah menjadi komunitas adat terpencil.
Tidak hanya itu. Terang benderang tersurat dalam sejumlah hukum positif perihal pengakuan dari pemerintah akan eksistensi komunitas adat terpencil, termasuk pengakuan atas hak sosial dan ekonomi, termasuk pengakuan terhadap perlindungan tradisi dan adat istiadat komunitas adat terpencil. Pengakuan dan perlindungan itu tersebar mulai undang-undang agraria hingga undang-undang tata ruang.
Orang Rimba yang lugu dan polos itu. Bertahan hidup di hutan, berburu, mencintai alam, dan humanisme. Pada awalnya, para individu Suku Anak Dalam cenderung memiliki pandangan atau persepsi negatif terhadap pendidikan formal. Fenomena tersebut terkait dengan ajaran dari orang tua, temenggung (kepala suku), dan bahkan nenekmoyang mereka yang mengasumsikan bahwa pendidikan yang diterima darisekolah bukanlah sebuah kegiatan yang wajib untuk dilakukan.
Alasannya,dengan mengikuti kegiatan belajar di sekolah, maka waktu mereka untukmelakukan kegiatan seperti berhutan menjadi tersisihkan, sehingga label yangkemudian muncul adalah mereka akan meninggal karena tidak dapat memenuhikebutuhan hidup mereka dari berhutan. Pendidikan formal atau bersekolah adalah salah satu fenomena yang relatif baru bagi individu Suku Anak Dalam.
Sebelumnya, mereka tidak pernah diperkenalkan adanya istilah pendidikan maupun istilah bersekolah. Seperti yang disampaikan oleh Edmund Husserl, bahwa fenomenologi berfokus pada bagaimana orang mengalami fenomena tertentu, menyelidiki bagaimana individu mengkonstruksikan makna dari sebuah pengalaman yang mereka alami dan bagaimana makna yang ditangkap oleh individu tersebut bisa memicu terbentuknya makna kelompok atau bahkan membentuk pemahaman baru pada kebudayaan tertentu (Vandersteop dan Johnston, 2009:206).
Terkait dalam hal ini adalah kemunculan pengetahuan baru dari pengalaman individu Suku Anak Dalam mengenai pendidikan yang diperolehnya, serta menghasilkan beberapa pandangan yang berhasil dimaknai oleh individu Suku Anak Dalam. Persepsi awal dari Suku Anak Dalam terhadap pendidikan yang terbentuk cenderung negatif. Namun, seiring dengan terus dilakukannya sosialisasi oleh pemerintah tentang pentingnya pendidikan serta adanya faktor pendorong internal (cita-cita hidup) dalam diri individu Suku Anak Dalam, sebagian individu Suku Anak Dalam cenderung menjadi lebih aktif untuk mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Bahkan, pemerintah membangun Sekolah Dasar khusus bagi Suku Anak Dalam.
Persepsi individu Suku Anak Dalam terhadap pendidikan formal yang pada awalnya menganggap bahwa pendidikan adalah ajaran yang tidak benar, dalam perkembangannya cenderung mulai mengalami perubahan, dan bahkan Suku Anak Dalam telah bersekolah dan menempati rumah yang disediakan oleh pemerintah.
Sehingga, individu Suku Anak Dalam cenderung memaknai pendidikan
dan bersekolah sebagai salah satu hal yang menyenangkan sekaligus
menguntungkan.Fenomena paling menonjol terkait dengan konstruksi makna pendidikan bagi individu Suku Anak Dalam adalah bahwa dengan mengikuti pelajaran di sekolah mereka memiliki gambaran tentang cita-cita hidup. Hal tersebut mengindikasikan adanya perubahan dalam memahami makna pendidikan formal yang diterima oleh individu Suku Anak Dalam.
           
Pada awalnya, keinginan bersekolah terbentuk bukan karena adanya
dorongan pribadi (faktor internal) dari individu Suku Anak Dalam. Para informan
mengatakan bahwa alasan pertama mereka bersekolah lebih kepada faktor
eksternal, yaitu dorongan dari orang tua mereka.
 Alasan orang tua Suku Anak Dalam meminta anaknya untuk bersekolahpun bukan tanpa alasan, para orang tua mengatakan, dengan bersekolah maka akan diberikan makanan serta pakaian baru tanpa dipungut biaya. Kemampuan mengoperasikan benda elektronik juga menjadi salah satu pengalaman berbeda yang sebelumnya tidak mereka dapatkan.
Kemampuan mengoperasikan benda elektronik lainnya seperti handphone juga menjadi salah satu pengalaman baru bagi Suku Anak Dalam. Ketika Suku Anak Dalam sebelum bersekolah, mereka hanya menggunakan handphone sekedar untuk menonton televisi dan memutar lagu, kinimereka mampu memaksimalkan kegunaan handphone tersebut, selain untukberkomunikasi, mereka telah mampu meng akses facebook dari handphone mereka.
Dengan bersekolah dan belajar menjadikan mereka memiliki kemampuan untuk membaca serta menulis, memiliki kemampuan bersosialisasi dan bernegosiasi. Dibandingkan dengan ketika Suku Anak Dalam belum bersekolah, Suku Anak Dalam tidak pernah berhubungan, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan orang luar, meskipun pernah, interaksi hanya terjadi beberapa kali dan tidak sesering sekarang.
Hal ini terjadi dikarenakan kehidupan Suku Anak Dalam yang lebih banyak berada di hutan. Sebelum sekolah, Suku Anak Dalam keluar dari hutan hanya ketika hendak menjual hasil hutan mereka. Berbeda denganketika Suku Anak Dalam telah bersekolah seperti sekarang, bagi Suku Anak Dalam yang telah bersekolah, bersosialisasi dengan orang luar kini lebih seringterjadi.
Hal ini terjadi karena selain di sekolah mereka harus bersosialisasi dengan orang luar, kehidupan sehari-hari juga menuntut Suku Anak Dalan untuk lebihsering bersosialisasi dengan orang luar, karena perumahan yang Suku AnakDalam tempati berada di lingkungan dan di sekitar rumah warga atau hampir semua tetangga mereka adalah orang luar.
Dengan berpindah serta bertempat tinggal Suku Anak Dalam di sekitaratau bertetangga dengan orang luar telah merubah anggapan serta stereotypeSuku Anak Dalam terhadap orang luar. Dengan berteman dengan orang luar,komunikasi serta interaksi mereka menjadi semakin intens dan semakin sering.Fenomena tersebut membuat mereka saling membuka diri satu sama lain.
Menurut Irwin Altman dan Dalmas Taylor (Littlejohn, 2005 : 194) dalam teori penetrasisosial (Social Penetration Theory) bahwa seseorang melakukan komunikasi yangbergerak dari unintimate kemudian mencapai puncak pada titik intimate. Proses tersebut adalah penetrasi yang mana syarat mutlaknya yaitu self disclosure atauketerbukaan. Terjadinya keterbukaan diri diantara Suku Anak Dalam denganorang luar lebih dilatar belakangi adanya keinginan untuk saling mengenal satusama lain, memperoleh pengetahuan dari apa yang sebelumnya belum pernah didapat oleh mereka. Suku Anak Dalam yang telah mampu dan melangsungkan komunikasiatau sosialisasi dengan orang luar merupakan salah satu contoh adanya upaya dariSuku Anak Dalam (kelompok minoritas) agar diterima oleh orang luar (kelompokmayoritas). Orbe menjelaskan dalam co-cultural theory, yang mengkajibagaimana anggota kelompok minoritas berkomunikasi dengan anggota kelompokdominan (Littlejohn, 2009: 264).
KESIMPULAN
           Pada awalnya, individu Suku Anak Dalam cenderung memiliki persepsi negatif terhadap pendidikan yang disosialisasikan oleh pemerintah. Hal itu terjadi karena bertentangan dengan ajaran leluhur, sehingga individu Suku Anak Dalam merasa tidak perlu bersekolah. Namun seiring dengan perkembangan waktu, persepsi mereka mulai berubah. Individu Suku Anak Dalam merasa senang dengan bersekolah, karena ketika bersekolah, mereka akan mendapatkan makanan serta jajan yang dibagikan oleh pihak sekolah. Ada beberapa faktor yang akhirnya mampu membuat para individu Suku Anak Dalam menerima pendidikan.
           Penerimaan individu Suku Anak Dalam dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar, seperti adanya imbalan atau sesuatu yang menarik yang diberikan dan disampaikan oleh pemerintah. Serta adanya dorongan atau ‘perintah’ dari orang tua mereka untuk bersekolah. Meskipun dorongan dari
orang tua mereka dilatar belakangi dengan adanya imbalan berupa akan
dibagikannya pakaian baru (seragam sekolah) dan makanan oleh pihak sekolah.
           Dengan bersekolahnya individu Suku Anak Dalam, pengalaman-pengalamanbaru dialami oleh mereka. Memiliki teman serta bersosialisasi dengan
orang luar (bukan Suku Anak Dalam) menjadi pengalaman baru yang didapat
ketika bersekolah. Kemampuan menggunakan dan mengoptimalkan peralatan
elektronik, memiliki kemampuan membuat serta log in sosial media seperti
facebook di handphone juga dimiliki oleh individu Suku Anak Dalam setelah
bersekolah. Hal ini didasari pada kemampuan menulis, membaca, dan berbahasa
Inggris yang diajarkan ketika mereka bersekolah.
UCAPAN TERIMAKSIH
            Dengan selesainya pembuatan Artikel Ilmiah ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Allah SWT dan pihak-pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan Artikel Ilmiah ini, terkait dengan referensi landasan teori dari berbagai tokoh , pemberitaan lewat internet, selain itu juga kepada dosen pembimbing yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian Artikel Ilmiah ini. Sampai dengan Artikel ini selesai dibuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar